Jumat, 25 Maret 2011

Give up

Langit sore ini sangat oranye. Karena sinar matahari yang hangat terpantul di gumpalan awan yang putih. Pohon-pohon menjulang tinggi berusaha meraih langit. Sungai membelah dua daratan, dan airnya juga tampak oranye.

Di salah satu sisi daratan berdiri rumah sederhana berdinding semen. Menghadap pada matahari yang akan beristirahat. Itu adalah rumah sederhanaku, yang dulu selalu dipenuhi dengan harapan dan kebahagiaan. Yang dulu selalu menjadi rumah yang sangat nyaman dan penuh kehangatan.

Tetapi dunia terus berputar dan tidak akan membiarkan seseorang terus berada di atas. Kini rumah itu tidak lebih dari susunan pondasi, tiang, dan batu bata yang dingin.

Di tengah sungai dua perahu mengapung bersama, tidak ingin ikut terpisah seperti dua daratah di sampingnya. Dan aku terus disini, sendirian di tepi sungai menatap iri pada dua perahu itu.

Orang-orang selalu bilang langit akan menggambarkan perasaanmu. Tapi itu hanya kata-kata romantis di dunia penyair. Karena sekarang matahari semakin oranye dan perasaanku semakin mendung. Huh… mungkin matahari tidak berpihak padaku, karena masih banyak perassan orang lain yang bisa digambarkan di langit-Nya.

Matahari memang memberikan kehangatan tersendiri di awal musim gugur yang dingin ini. Tapi kahangatan itu tidak berarti banyak bagiku, karena aku kembali sendiri. Aku terus menatap ke sebrang sungai, berharap melihat sosok berambut coklat terang berjalan sambil tersenyum kepadaku. Aku terus membuka telinga lebar-lebar, berharap dapat mendengar langkah kaki ringan yang sekarang tidak pernah kudengar lagi. Aku terus menarik nafas berharap dapat mencium aroma daun teh yang selalu merasukiku.

***

Aku masih tetap disini, menunggu sosok yang sama. Dan udara semakin dingin, karena sekarang sudah memasuki akhir musim gugur. Tetapi dia tidak kunjung datang.

Apakah sekarang saatnya menyerah???

Aku mengangkat kepala, menengadah kepada langit. Dan kali ini langit menggambarkan perasaan seseorang lagi, tapi bukan perasaanku. Kemudian aku berdiri, menatap untuk yang terakhir kali ke sebrang sana lalu kembali manatap langit. Aku tersenyum padanya, dan sekarang aku sudah mengerti.

We should not give up until the end
But we should give up when the time is over
And continue our live


Langit menggambarkan perasaan seseorang tetapi bukan aku. Itu adalah perasaan seorang wanita berambut coklat terang yang tersenyum sedih menatap seseorang terus menunggu dirinya yang tidak akan pernah datang.

Hingga akhirnya aku melepaskannya dan berjalan pergi sambil menatap langit. Dan wanita berambut coklat terang tersenyum teduh dari atas sana.

Kamis, 17 Maret 2011

Abu-abu

Dunia ini gelap...
Segalanya abu-abu dengan cahaya lampu yang temaram.


Sepanjang jalan adalah rumah dan toko, bahkan ada cafe. Seharusnya ada kehangatan di sana, tapi yang tampak oleh mata hanyalah abu-abu. Jendela ditutup rapat-rapat, gordennya hitam dan usang. Jangankan mengintip ke dalam, cahaya saja tidak bisa menembusnya. Di ujung jalan terdapat dua menara tinggi yang terlihat congkak. Tinggi dibandingkan bangunan lain di sekitarnya. Tetapi tetap saja sama, abu-abu yang menyedihkan.

Dan hening. Hening yang ganjil di tempat yang abu-abu. Hening sehingga desah nafas terdengar seperti hembusan angin topan. Tapi hening ini ganjil, hening tetapi penuh dengan bisik-bisik yang tak dapat didengar. Hening, tapi sesungguhnya disana ada banyak mata memandang.

Semua mata abu-abu itu memandang pada sebuah aston martin silver yang terparkir di depan bangunan bergaya klasik dengan dinding semen yang terkelupas termakan usia.

Kemudian seorang pria dengan mantel tebal berwarna krem keluar dari onggokan besi mewah tersebut dia mengetuk pintu bangunan klasik itu tiga kali. Dan seorang pria penuh masalah keluar dari bangunan itu. Terlihat jelas dari wajahnya yang kurus dan tidak terawat. Bahkan kau dapat melihat urat-urat dibawah kulitnya yang tipis dan pucat. Dia menggunakan piama lusuh berwarna merah, tersenyum penuh bahagia pada pria bermantel didepannya. Tapi sebelum senyum itu terhapus dari wajahnya peluru shoot gun sudah bersarang di kepala pria tersebut.

Dan aston martin melaju pergi bersama pria bermantel sebagai pengemudi. Dan pasang-pasang mata yang menyaksikannya tetaplah abu-abu. Kembali mengunci pintu dan jendela rapat-rapat. Membiarkan segalana tertimbun oleh abu-abu.

Something

Dari aku untukkmu....

Saat aku berdiri di persimpangan jalan…

Di depan ada ‘dia’ merentangkan tangannya untukku. Di kanan ada ‘dia’ memegang payung untuk melindungiku dari titik-titik air hujan. Di kiri juga ada ‘dia’ memegang sebuah kotak berisi ungkapan hatinya, yang pastinya adalah sesuatu yang barharga. Dan di belakang ada ‘dia’ berlari berusaha meraihku sepenuh hati.
Ternyata ‘kau’ ada di sampingku, menggenggam tanganku dan berkata,

“Aku akan tetap menggenggam tanganmu sepeti ini”.

Dan ‘kita’ terus melangkah, persimpangan itu menghilang, yang tersisa adalah jalan lurus ke depan yang penuh dengan gerbang menuju masa depan.

Dari kau untukku...

Saat kau menangis…

Jika kau menangis di tengah hujan, hujan hanya akan menyamarkannya dengan bulir-bulir airnya.

Jika kau menangis di tengah malam, hanya akan membuat matamu bengkak di esok paginya.

Jika kau menagis di dalam kamar, bebanmu akan bertambah karena bayangan-bayangan mengerikan yang terlintas.

Jika kau menangis di depan ibumu, maka dia juga akan menangis dan kau akan berdosa memberikan beban yang lebih berat padanya

Jika kau menangis di depan umum, semua orang akan menganggapmu orang yang bodoh.

Tetapi jika kau menangis di pundakku aku akan berkata “teruslah menangis supaya kau tetap bersandar di pundakku”. Dan kau seharusnya tertawa maka bebanmu akan menguap pergi bersama angin di musim gugur.

Jumat, 11 Maret 2011

curcol "MID"

Mid semester telah tiba...
Tidak... Tidak... Hatiku menangis...

Mid semester itu memang satu dari banyak hal yang tidak ingin saya alami selama hidup di dunia, tapi takdir harus tetap dijalani huhuhu T_T

Hari pertama duduk di depan, tepatnya kedua dari depan, sangat mengerikan.
Soal kimia sih okay, tapi matematika dan fisika!!! Oh my god!!! It's look like better if i die!!! *not really*
Yah lumayanlah... dengan nilai tidak mencapai standar hanya 72,5 setidaknya saya sudah melalui matematika dengan cukup baik...

Sekarang beralih ke topik pengawas... Kelas X.2 memang bisa disebut kelas yang sial karena selama 3 kali berturut-turut ulangan MIPA berlangsung kami (X.2) tidak pernah mendapatkan pengawas yang berbaik hati memmbiarkan kami menyontek atau bekerja sama... Poor us...

Berikutnya soal. Soal-soal seperti jala membelit kami dan menyeret kami ke lautan badai... Maksudnya soal-soalnya terlalu complicated dan sangat-tidak-bisa-diselesaikan-dalam-waktu-satu-setengah-jam. Sang guru berotak 'dewa' membuat soal yang terlalu rumit dengan angka-angka gak penting lainnya dengan banyak koma, pecahan, dan akar.

Jadilah ulangan yang sangat tidak menguntungkan tanpa adanya remedial...